The Bitches III
Dari bagian 2
Dan kini kubalikkan tubuhnya. Dia telah tengkurap. Aku merangkaki
punggungnya. Kujilati kuduknya hingga dia menjerit kecil. Kujilati
punggung dan kedua belikatnya. Dia mengaduh. Kemudian kujilati
pinggulnya hingga dengan liarnya dia menggelinjang. Dan saat kujilati
bukit bokongnya serta kumasukkan lidahku ke belahan bokongnya, dia tak
mampu lagi menahan diri. Dia ingin agar aku menjilatinya lebih dalam
lagi. Dengan kepalanya yang masih bertumpu pada bantal, dia mengangkat
pantatnya tinggi-tinggi hingga seluruh pantatnya terbenam ke wajahku.
"Mbak Marinii.., jilati iniku Mbaakk.., jilati pantatku Mbakk..,
jilati lubangnya Mbakk.., ayoo Mbakk.., jilati Mbakk.., aku mohon
mbaakk".
Ah, Surti nampak sangat menderita. Sangat tersiksa. Dia merintih.
Dia memohon padaku untuk menjilati pantatnya. Menjilati lubang
duburnya, seperti saat dia menjilati lubang duburku tadi. Rupanya dia
juga memintaku untuk melakukan hal yang sama sebagaimana dia telah
melakukannya padaku. Aku segera memahaminya. Dan bagiku, hal itu adalah
bentuk kepasrahan Surti yang dipercayakannya padaku. Surti ingin
membagi kenikmatan birahi bersamaku. Aku tenggelam dalam deritanya,
dalam siksanya, dalam rintihnya. Aku larut dalam permohonannya. Aku
terseret dalam alun birahinya.
Kujilati dubur Surti hingga birahiku langsung melonjak. Sambil
kujilati pantatnya, tanganku meraih nonoknya dan kuelus, sambil
jari-jariku menusuk lubang vaginanya. Rupanya kombinasi kenikmatan yang
kulimpahkan padanya membuat Surti benar-benar tak mampu bertahan.
Dengan serta merta dia berbalik bangkit, kemudian tangannya meraih
dildo yang berkepala dua.
"Ayoo Mbak. Mbak masukin ke nonok Mbak. Aku yang di sebelah sini".
Maksudnya adalah agar aku bersama dengannya menggunakan dildo untuk
saling bermasturbasi. Aku belum berfikir panjang saat dia langsung
memeluk, melumatku dan dengan tangannya langsung memasukkan dildo itu
ke memeknya. Dan berikutnya dia mendekatkan batang dildo yang sama ke
memekku dari ujung yang lain. Ah, biarlah aku mencobanya.
Kemudian seperti layaknya pasangan jantan dan betina, dia mulai
memompa. Dia melakukan gerakan memompa dengan dildo berkepala dua itu.
Dan efeknya padaku sungguh mempesona. Aku serasa mendapatkan pelukan
yang demikian cantik dan lembut, sekaligus mendapatkan rasa kontol yang
besar dan panjang. Aku ikut mengayun. Kegatalan vaginaku tak lagi mampu
kubendung. Aku ingin pipis yang teramat sangat. Nafasku memburu. Nafas
Surti juga memburu. Pompa dan ayunan kami semakin cepat. Akhirnya, aku
dan Surti meraih orgasme bersamaan. Kami mengeluarkan air mata karena
nikmat tak terkira ini. Kami masih saling berpelukan dan melumat hingga
cairan-cairan kami betul-betul tuntas mengalir keluar. Selera dan nafsu
biseksku semakin subur sejak bertemu Indri, tetanggaku yang istri
pelaut itu. Dan aku sungguh merasakan kebahagiaan pada saat bertemu
Surti ini. Aku tidak sendiri. Aku ingin memenuhi harapan Indri. Suatu
saat nanti, aku akan berkumpul bertiga untuk bersama-sama mengarungi
kenikmatan ini.
Akhirnya, seperti kebiasaan rutin di kantornya, Surti pulang tepat
pada pukul 5 sore dari rumahku. Kami memiliki banyak rencana untuk
mengarungi kenikmatan bersama di hari-hari nanti. Seharian bersama
Surti ini sangat menggairahkan dan merupakan kenangan indah yang tak
akan pernah kulupakan.
Sebelum beranjak pulang dia berpesan bahwa aku tidak perlu khawatir
mengenai masalahku dengan Mas Adit. Dia menjamin bahwa segalanya akan
beres. Aku sedang menonton TV saat Bu Retno Anggoro, istri boss besar
suamiku, meneleponku. Aku agak terkejut, jangan-jangan ini masih juga
berhubungan dengan affairku dengan suaminya kemarin di Hotel Grand
Hyatt itu.
"Selamat malam Jeng Marini, apa kabar, Jeng?",
"Baik Bu, apa kabar?",
"Begini Jeng, besok khan kita ada arisan ibu-ibu di rumah. Ingat, khan?".
"Saya mau minta bantuan nih, kalau Jeng Marini nggak ada acara.
Untuk membantu mempersiapkan macam-macam untuk acara yang jam 4 sore
besok. Kalau bisa, tolong Jeng Marini ke rumah agak lebih awal.
Maksudku sekitar jam 9 pagi gitu lho. Nanti makan siang di rumah saya
saja. Bisa, khan, Jeng?".
Wah, kalau istri boss besar yang minta tolong seperti itu,
bagaimana aku akan bilang tidak. Ini adalah acara rutin. Untunglah, ini
bukan soal suaminya yang selingkuh denganku. Para istri dari kantor Mas
Adit memang secara rutin sebulan sekali bertemu di rumah ibu boss untuk
berbagai acara khas ibu-ibu antara lain, arisan, nonton demo alat
masak, demo kosmetik dan berbagai acara yang sesuai dengan kegiatan
ibu-ibu pada umumnya. Aku senang saja dan menikmati acara-acara seperti
itu. Terutama saat berkumpul, ibu-ibu biasanya saling mengamati satu
sama lain. Aku merasa bahwa di antara mereka, akulah yang paling
cantik.
Ibu-ibu banyak bertanya bagaimana caraku merawat tubuhku, apa merk
kosmetikku, aku minum jamu apa dan sebagainya. Khususnya Bu Retno.
Beliau jika menanyakan hal-hal semacam itu sambil mengamati jawabanku
dengan penuh antusias. Dan setiap kami pulang, dia selalu memeluk dan
mencium pipiku dengan penuh kesan, seakan aku adalah putrinya sendiri.
Bu Retno adalah putri Solo. Orang tuanya masih berdarah keraton.
Walaupun usianya sudah menjelang 48 tahun, tetapi kecantikan alami Bu
Retno ini rasanya tak akan pernah luntur. Beliau ini pantas memakai apa
saja. Kebaya, ayu. Rok, cantik. Seragam oleh raga, sangat seksi. Celana
jeans, yang sesekali juga dipakainya saat santai, sangat sensual.
Intinya, banyak ibu-ibu yang selalu berdecak kalau melihat Bu Retno
pada kesempatan apapun.
"Baik, Bu. Saya akan berusaha datang jam 9 pagi ke rumah Ibu", aku menjawab permintaanya tanpa reserve.
Aku membayangkan akan bertemu Pak Anggoro lagi. Harus bagaimana
nanti sikapku kalau bertemu Pak Anggoro. Bagaimana aku harus bersikap
agar seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa antara kami di depan
istrinya nanti. Ah, nanti bagaimana sajalah. Besoknya, saat aku masuk
ke rumahnya, seorang pembantu mempersilakanku untuk langsung masuk ke
kamar Bu Retno di lantai 2 rumahnya yang besar itu. Bu Retno telah
menungguku. Aku tidak berjumpa dengan Pak Anggoro. Mungkin dia telah
berangkat ke kantornya. Aku mengetuk pintunya yang masih tertutup.
Beberapa detik kemudian pintu dibuka lalu Bu Retno menyambutku dengan
penuh kehangatan. Aku diajaknya duduk di sofa kamarnya yang besar.
Kamar Bu Retno terdiri dari 2 ruangan yaitu ruang kerja beliau dan
kamar tidurnya yang saling terhubung. Kami duduk di ruang kerjanya.
"Mau minum apa, Jeng?",
"Sudah Bu, jangan repot-repot. Biar nanti saya ambil sendiri".
"Oo, baiklah. Ini lengkap lho, Jeng. Ada teh celup, coklat instant,
orange juice dingin. Bebas ya, Jeng. Pilih saja sendiri, ya", ujar Bu
Retno sambil menunjukkan lemari es dan meja minumnya.
Setiap kali aku berhadapan dengan wajah Bu Retno ini, aku selalu
teringat dengan Michele Yeoh, bintang laga yang cantik dan sangat
cerdas dari Malaysia itu. Hari ini Bu Retno tampil dengan pakaian
santainya yang sangat menunjukkan kecantikan alaminya. Dengan celana
pendek "hot pan" cossy-nya, paha dan betisnya nampak sangat sensual dan
indah. Dengan blus "u can see"-nya sesekali Bu Retno menunjukkan pesona
ketiaknya yang berbulu tipis itu saat beliau menunjukkan sesuatu hal
atau berbicara sambil memberikan contoh-contoh yang mengharuskan
tangannya bergerak lebih tinggi dari kepalanya.
Bahunya yang bidang, yang mulai nampak sejak pada batas blusnya,
begitu mempesona pula. Bagian ini sering menjadi obyek sentuhan awal
saat seseorang yang dekat padanya ingin mengungkapkan hal-hal yang
hanya perlu dibisikkan dalam suara yang lembut yang sangat pribadi
sifatnya. Dan tidak jarang pula, bahu seseorang juga seakan
mencerminkan tingkat inteligensinya. Dari akhir bahu itu, nampak awal
lengan tangannya yang bersih mulus, padat sintal dan sangat terawat
pula. Jari-jari tangannya yang lentik dengan kuku-kukunya yang tak
pernah absen dari salon perawatan manicure langganannya mengingatkanku
pada keindahan dewi Aphrodite dari Yunani. Rambutnya yang panjang dan
lurus lebih sering di lepas ke bawah, dalam ikatan bando di kepalanya,
layaknya seorang model yang sedang memperagakan shampoo. Sepintas,
mungkin orang akan menebak bahwa usia Bu Retno masih berusia 35
tahunan, beberapa belas tahun di bawah usia sebenarnya.
"Jeng Marini", begitu duduk Bu Retno langsung mulai bicara.
Tentunya untuk rencana acara nanti sore, begitu pikirku.
"Saya tahu, Jeng Marini bersama Bapak di Grand Hyatt hari Sabtu dan Minggu kemarin".
Dia melihatku dengan tenang berikut semburat senyum manis di bibirnya. Aku langsung serasa seakan disambar geledek.
Pandanganku nanar. Aku tak kuasa menahan diri. Seketika aku
limbung. Aku jatuh ke pangkuannya. Aku menangis dalam perasaan malu,
ketakutan, kekhawatiran dan penyesalan. Aku merasa berdosa pada Bu
Retno yang selama ini selalu baik padaku. Kurasakan tangannya yang
mengelus rambutku.
"Sudah, Jeng, sudah. Saya nggak apa-apa, kok. Bahkan saya senang
kalau Bapak bisa mendapatkan kesenangan dari Jeng Marini. Dia telah
banyak berbuat untuk keluarga. Dia berhak untuk mencari kesenangan di
luar rumah. Saya sangat rela. Sudah, Jeng, jangan khawatir".
Akhirnya dia mengambil minuman untukku. Kuminum sedikit untuk
menenangkan diri. Mataku masih terasa merah berkaca-kaca oleh air
mataku. Bu Retno meraihku agar bersandar di dadanya. Duh, baiknya ibu
ini. Aku yang telah berselingkuh dengan suaminya tidak membuatnya marah
atau benci. Dia menghapus air mataku dan kembali mengelus rambutku.
"Saya Jeng, sebenarnya tidak khawatir dengan Bapak. Justru yang
saya khawatirkan adalah saat Pak Adit nanti pulang dari tugasnya di
Kalimantan. Jeng Marini tahu khan kalau karyawan Bapak ini baik-baik
semua, termasuk Pak Adit".
"Mereka kalau pulang dari mana-mana biasanya tak lupa kemari, membawa sekedar tanda mata atau oleh-oleh.".
"Saya mesti bicara bagaimana seandainya Pak Adit menanyakan
berbagai hal yang dia dengar tentang Jeng Marini, termasuk hal-hal yang
saya dengar juga dari Samin penjaga villa kami di Bogor itu".
Matilah aku. Bu Retno ini ternyata telah tahu semuanya. Jadi,
apakah dia memanggilku supaya datang lebih awal dari jadwal acara
bersama ibu-ibu nanti sore ini hanya untuk menyampaikan masalah ini
padaku? Aku mencoba berfikir keras, tetapi air mataku kembali merebak
dikarenakan berbagai hal yang sangat krusial ini. Aku kehabisan nalar
untuk menghadapi hal ini. Aku jadi teringat para serigala itu. Yang
telah menikmati tubuhku tetapi tidak berusaha membelaku. Kurasakan
tangan Bu Retno makin mendekapku. Aku mendengar suara jantungnya yang
berdegup semakin kencang. Aku menerawang ke kejauhan. Ke awang-awang.
Melihat kemungkinan apa yang akan terjadi.
Yang kurasakan hanya tangan Bu Retno yang kembali mengusap air
mataku. Dan tiba-tiba terasa ada seperti tiupan nafas yang halus dan
ada sesuatu yang lembut sekali menyentuh bibirku. Bukan, bahkan bukan
sekedar sentuhan. Sentuhan lembut itu berlanjut dengan lumatan pada
bibirku dengan cara yang lebih lembut lagi. Dan lumatan itu tak kunjung
berhenti. Kurasakan lumatan itu disertai dengan sedotan yang halus
pula. Aku jadi terhanyut. Refleksku merespons lumatan itu. Aku
merasakan betapa menyejukkannya. Aku merasakan betapa teduh dan
nikmatnya. Nikmat yang sungguh tak terperi manakala paduan aroma alami
dari bibir seseorang yang menerpa hidung dan lidahku merasakan sesuatu
yang manis dari bibir lembut yang melumat bibirku itu.
Ke bagian 4
----
« Hot Zone
« Back
« Home
« New & Fresh
2715